SENI DIDONG
Didong adalah sebuah kesenian rakyat Gayo yang memadukan unsur tari, vokal dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Salah seorang seniman yang peduli pada kesenian ini adalah Abdul Kadir To'et. Kesenian didong lebih digemari oleh masyarakat
Takengon dan Bener Meriah.
Takengon dan Bener Meriah.
Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama islam melalui media syair.
Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai
keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam
ber-didong para ceh (seniman didong) tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal
cerita-cerita religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu
serta berperilaku baik. Pendek kata, seorang ceh adalah seorang seniman
sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan
fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam. Didong waktu itu selalu
dipentaskan pada hari-hari besar agama islam.
Satu kelompok kesenian didong biasanya terdiri dari para “ceh” dan
anggota lainnya yang disebut dengan “penunung”. Jumlahnya dapat mencapai
30 orang, yang terdiri atas 4--5 orang ceh dan sisanya adalah penunung.
Ceh adalah orang yang dituntut memiliki bakat yang komplit dan
mempunyai kreativitas yang tinggi. Ia harus mampu menciptakan
puisi-puisi dan mampu menyanyi. Penguasaan terhadap lagu-lagu juga
diperlukan karena satu lagu belum tentu cocok dengan karya sastra yang
berbeda. Anggota kelompok didong ini umumnya adalah laki-laki dewasa.
Namun, dewasa ini ada juga yang anggotanya perempuan-perempuan dewasa.
Selain itu, ada juga kelompok remaja. Malahan, ada juga kelompok didong
remaja yang campur (laki-laki dan perempuan). Dalam kelompok campuran
ini biasanya perempuan hanya terbatas sebagai seorang ceh.
Peralatan yang dipergunakan pada mulanya bantal (tepukan bantal) dan
tangan (tepukan tangan dari para pemainnya). Namun, dalam perkembangan
selanjutnya ada juga yang menggunakan seruling, harmonika, dan alat
musik lainnya yang disisipi dengan gerak pengiring yang relatif
sederhana, yaitu menggerakkan badan ke depan atau ke samping.
“Pengat Gayo” Masakan Khas Dari Aceh Tengah
Pengat Gayo adalah sebuah masakan khas yang berasal dari dataran Gayo.
Bentuk makanan ini lebih mirip dengan pepes dan dimasak tidak
menggunakan daun, melainkan dimasak seperti pembuatan gulai tetapi
dimasak hingga tidak berkuah. Pengat Gayo biasanya dibuat dari berbagai
jenis ikan, khususnya ikan yang digunakan oleh masyarakat gayo seperti
ikan bawal hitam ataupun merah dan ikan depik atau sering juga disebut dengan ikan mas.
Pengat
Gayo mempunyai ciri khas dengan keasaman rasanya. Campuran antara air
jeruk dan sedikit asam sunti dapat menghasilkan cita rasa yang khas.
Jenis makanan ini dibuat tidak berkuah, dipastikan ikan benar-benar
matang dan bercampur dengan bumbu. Biasanya memerlukan waktu 1 hingga 2
jam untuk membuatnya. Pengat Gayo biasanya menjadi ciri khas ketika ada
acara-acara tertentu seperti Mangan Morom atau makan bersama, pesta perkawinan dan penerimaan tamu agung.
Ikan depik
adalah salah satu favorit ibu rumah tangga di Gayo untuk dijadikan
Pengat, hal ini disebabkan lebih gampang ditemukan didaerah kota
takengon (aceh tengah) dan tekstur juga cocok untuk dijadikan pengat.
Kebudayaan Gayo timbul sejak orang Gayo bermukim di wilayah ini dan mulai berkembang sejak kerajaan Linge Pertama abad ke XM. atau abad ke IV H, meliputi aspek kekerabatan, komunikasi sosial, pemerintahan, pertanian kesenian dan lain – lain. Adat istiadat sebagai salah satu unsur Kebudayaan Gayo Menganut Prinsip Keramat Mupakat, Behu Berdedale ( Kemulian karena Mufakat, Berani Karena Bersama ), Tirus lagu gelas belut lagu umut rempak lagu resi susun lagu belo ( Bersatu Teguh ) Nyawa sara pelok ratep sara anguk (kontak Batin ) atau tekad yang melahirkan kesatuan sikap dan perbuatan, banyak lagi kata – kata pelambang yang mengandung kebersamaan dan kekeluargaan serta keterpaduan. Pemerintah dan ulama saling harga menghargai serta menunjak pelaksanaan agama.
Sistem Nilai Budaya Gayo
Di masa lalu masyarakat Gayo telah merumuskan prinsip – prinsip adat yang disebut kemalun ni edet. Prinsip adat ini menyangkut “harga diri” (malu) yang harus dijaga, diamalkan, dan dipertahankan oleh kelompok kerabat tertentu, kelompok satu rumah (sara umah), klen (belah), dan kelompok yang lebih besar lagi.
Prinsip adat meliputi empat hal berikut ini :
1.Denie – terpancang adalah harga diri yang menyangkut hak – hak atas wilayah. 2.Nahma teraku adalah harga diri yang menyangkut kedudukan yang sah. 3.Bela mutan ialah harga diri yang terusik karena ada anggota kelompoknya yang disakiti atau dibunuh. 4.Malu tertawan ialah harga diri yang terusik karena kaum wanita dari anggota kelompoknya diganggu atau difitnah pihak lain.
Skema Sistem Nilai Budaya Gayo
Keterangan:
M > mukemel ( harga diri ) Tp > tertip (tertib) St > setie (setia) Sg > semayang Gemasih (kasih sayang ) Mt > mutentu (kerja keras) An > amanah (amanah) Gm > genap mupakat (musyawarah) At > alang tulung (tolong menolong) Bs > bersikemelen ( kompetitif)
Skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sistem nilai budaya Gayo terbagi menjadi nilai “utama” yang disebut “harga diri” (mukemel=M). untuk mencapai harga diri itu, seorang harus mengamalkan atau mengacu pada sejumlah nilai lain, yang disebut nilai “penunjang”. Nilai – nilai penunjang itu adalah : “tertib” (Tp), setia (St), kasih sayang” (Sg), “kerja keras”(Mt), “amanah” (An), “musyawarah”(Gm), “tolong- menolong”(At). Untuk mewujudkan nilai – nilai ini dalam mencapai “harga diri” mereka harus berkompetisi. Kompetisi itu sendiri merupakan sebuah nilai, yaitu “nilai kompetitif” (Bs) yang merupakan nilai penggerak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar